Analisa Yuridis Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan KUHP

Wacana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali menjadi “disturbing issue” setelah pemerintah mengumumkan akan mengesahkan pada bulan Juli tahun 2022 mendatang. Salah satu isu yang kembali digaungkan dalam merespon pengesahan RKUHP tersebut berkaitan dengan delik penghinaan (belediging) terhadap presiden dan wakil presiden.

Isu pengesahan tersebut kemudian mendapat respon penolakan yang datang dari berbagai kalangan, sehingga menimbulkan pro-kontra yang berpijak pada argumentasi masing-masing. Perbedaan pandangan itu paling tidak berkisar pada tiga pendekatan, yakni pendekatan hukum tata negara, hak asasi manusia, dan hukum pidana.

Bagi pandangan pertama, bahwa negara Indonesia menganut sistem presidensil dengan bentuk negara republik tidak memisahkan secara tegas terhadap presiden dan wakil presiden sebagai kepala pemerintahan maupun kepala negara. Dengan kata lain, presiden dan wakil presiden haruslah dipahami sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Konsekuensi logis dari pandangan tersebut bahwa presiden dan wakil presiden dalam fungsinya sebagai kepala pemerintahan, tidak boleh mendapat perlakuan khusus sebab akan menciderai prinsip negara hukum (rechtstaat) dan menegasi prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law).

Kendati pandangan kedua tidak jauh berbeda dari pandangan sebelumnya dalam merespon delik penghinaan presiden dan wakil presiden. Dalam diskursus hak asasi manusia, yang memiliki martabat (dignity) hanyalah seorang manusia (human), oleh karenanya delik tersebut tidaklah tepat jika dialamatkan untuk melindungi martabat presiden dan wakil presiden, sebab keduanya merupakan institusi sehingga apabila delik tersebut diatur, maka akan berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Bagaimanapun juga kedua pandangan di atas memiliki dasar argumentasi yang logis dalam merespon polemik delik penghinaan presiden dan wakil presiden pada RKUHP. Kendati, pertanyannya ialah, apakah hukum pidana mengabaikan pandangan-pandangan di atas dalam merumuskan atau memasukkan delik penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden kedalam RKUHP? Bukankah hukum pidana memiliki fungsi untuk melindungi negara, masyarakat, dan individu? Bukankah yang hendak dilarang oleh hukum pidana adalah perbuatan (daad), sebagaimana penghinaan yang merupakan “perbuatan tercela”. Lalu bagaimana dengan kemanusiaan yang adil dan “ber-adab” yang konon dimiliki bangsa ini?

Ide Dasar Pembentukan Rancangan KUHP

Errare humanum est, trupe in errore perseverare”― membuat kekeliruan adalah manusiawi, tapi tidak baik untuk terus mempertahankan kekeliruan.

Secara filosofis, ide dasar pembentukan RKUHP berpijak pada teori keseimbangan “monodualistik”, yakni keseimbangan antara “kepentingan umum/masyarakat” dan “kepentingan individu/pelaku dan korban”. Ide keseimbangan tersebut merupakan pengejewantahan dari keseimbangan nilai Pancasila yang meliputi Nilai Ketuhanan (moral-religius), Nilai Kemanusiaan (humanisme), dan Nilai Kemasyarakatan (nasionalistik, demokratik, keadilan sosial).

Dasar filosofis inilah yang kemudian melahirkan keseimbangan prinsip-prinsip dasar yang melatarbelakangi konsep RKUHP, diantaranya meliputi keseimbangan antara perlindungan pelaku tindak pidana (ide individualisasi pidana) dan Korban tindak pidana. Keseimbangan antara faktor “objektif” (perbuatan/lahiriah) dan faktor “subjektif” (orang/batiniah/sikap batin), ide “daad en dader strafrecht”. Keseimbangan antara kriteria “formal” dan “material”. Keseimbangan antara “kepastian hukum”, “kelenturan/elastisitas/fleksibilitas” dan “keadilan”, serta keseimbangan antara nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/universal (Hanafi, 2019: 87-86).

Bertolak pada hal di atas, maka terdapat beberapa kaidah dasar yang harus dipahami dalam merespon persoalan tindak pidana yang ada pada buku kedua RKUHP. Pertama, setiap orang yang terbukti melakukan Tindak Pidana, tidak secara mutatis mutandis dia dapat dijatuhi pidana. Sebab, didalam ilmu hukum pidana, melakukan Tindak Pidana merupakan suatu persoalan, namun dapat dipidananya pelaku merupakan persoalan lain.

Kedua, suatu perbuatan hanya dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana dan bersifat Melawan Hukum (wederrechterlijkheid)―baik melawan hukum formal maupun melawan hukum materiil (insignificant principle). Artinya bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana hanya dapat dijatuhi pidana apabila perbuatan tersebut melanggar perundang-undangan hukum pidana dan perbuatan itu patut untuk dicela oleh masyarakat.

Ketiga, setiap orang yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus diutamakan. Keempat, setiap orang yang melakukan Tindak Pidana, sedapat mungkin pidana penjara tidak dijatuhi jika ditemukan keadaan kerugian korban tidak terlalu besar, pelaku bukan residivis, tindak pidana terjadi karena hasutan dari orang lain, korban tindak pidana mendorong atau menggerakkan agar terjadinya tindak pidana, pidana penjara dapat menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya, tindak pidana terjadi karena kealpaan, dan lain sebagainya.

Kelima, setiap orang yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara dibawah 5 (lima) tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan. Keenam, Rancangan KUHP memberikan ruang bagi Majelis Hakim agar dapat memberikan Permaafan kepada pelaku Tindak Pidana sekalipun perbuatan pelaku terbukti secara sah dan meyakinkan dengan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, keadaan pada saat perbuatan dilakukan atau yang terjadi kemudian, serta mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Permaafan hakim tersebut merupakan konsep baru didalam RKUHP yang dalam dliteratur hukum pidana dikenal dengan istilah Rechterlijk Pardon atau Dispensa de Pena.

Bertolak pada hal di atas, maka pada dasarnya terdapat perubahan/pembaruan konsep yang sangat mendasar didalam RKUHP yang tidak akan kita temukan pada KUHP/WvS peninggalan kolonial. Disisi lain Rancangan KUHP memasukkan tujuan dan pedoman pemidanaan secara expressiv verbis dan mewajibkan untuk dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam mengadili perkara pidana. Hal ini tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan KUHP/WvS yang sama sekali tidak memasukkan tujuan serta pedoman pemidanaan. Akibat dari tidak dimasukkannya tujuan serta pedoman pemidanaan didalam KUHP/WvS menjadikan hukum pidana tidak secara kritis menyoal tentang bias keadilan yang sering terjadi selama ini.

Formulasi Delik Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden

Didalam pemerintahan yang tidak demokratis, selalu menimbulkan skeptis terhadap masyarakat dalam merespon segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Barangkali keadaan itulah yang sedang terjadi pada realitas kehidupan berbangsa dan bernegara kita hari-hari ini. Bagaimana Gap antara pemimpin dan yang dipimpin kian nyata, dan membawa pada sejumlah kontraproduktif dalam merespon segala kebijakan yang dilakukan pemerintah, salah satunya adalah Rancangan KUHP yang kembali menjadi sorotan publik.

Ketentuan mengenai delik penghinaan presiden dan wakil presiden diatur pada Pasal 218 RKUHP yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan ketentuan mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP/WvS melalui Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Terdapat 3 (tiga) poin penting terhadap pertimbangan MK dalam membatalkan delik penghinaan presiden dan wakil presiden, diantaranya; mengancam kebebasan berekspresi, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan menegasikan prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law).

Namun dalam perjalanannya, delik penghinaan presiden dan wakil presiden kembali diatur kedalam Rancangan KUHP dengan disertai beberapa perubahan oleh pembentuk Undang-Undang, diantaranya: 1) Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP merupakan delik aduan―(sebelumnya delik umum); 2) ancaman pidananya lebih ringan yaitu 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan―(sebelumnya enam tahun penjara); 3) terdapat penjelasan Pasal―(tidak untuk membatasi kebebasan bependapat termasuk menyampaikan kritik).

Disamping itu, terdapat raison d’etre dimasukkannya delik penghinaan presiden dan wakil presiden kedalam RKUHP sebagaimana yang diungkapkan oleh tim perumus, diantaranya; pertama, isi KUHP di seluruh dunia terdapat bab yang mengatur tentang penghinaan kepala negara asing; kedua, isi KUHP di seluruh dunia sama kecuali mengenai 3 (tiga) hal, yaitu delik politik, delik kesusilaan, dan delik penghinaan.

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa penghinaan (belediging) pada dasarnya merupakan perbuatan yang amat tercela, baik dilihat dari aspek moral, agama, hak asasi manusia, maupun aspek kemasyarakatan kita yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan ber-adab. Karena sifatnya tercela, maka penghinaan pada dasarnya merupakan rechtsdelicten (kejahatan) bukan wetsdelicten (pelanggaran). Oleh karenanya kriminalisasi perbuatan penghinaan ditujukan untuk menjamin keamanan umum serta memelihara dan mempertahankan ketertiban umum. Barangkali inilah yang menjadi landasan perbuatan penghinaan perlu dikriminalisir kembali kedalam Rancangan KUHP.

Disisi lain, orientasi hukum pidana bertolak pada konsep daad en dader straftrecht yaitu “perbuatan” dan “pelaku” tindak pidana. Jadi, yang hendak dilarang pertama oleh hukum pidana adalah perbuatan “daad”― penghinaan merupakan perbuatan kejahatan, oleh karenanya dilarang dan perlu diatur kedalam aturan hukum pidana (RKUHP). Adapun berkaitan dengan kepada siapa penghinaan itu ditujukan pada dasarnya merupakan persoalan lain didalam ilmu hukum pidana.

Sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak secara mutatis mutandis dia dapat dijatuhi pidana. Sebab hukum pidana (RKUHP) memisahkan secara tegas antara “Tindak Pidana” dan “Pertanggungjawaban Pidana”. Bahkan sekalipun pelaku dianggap mampu untuk bertanggungjawab, namun dengan mempertimbangkan tujuan serta pedoman pemidanaan, maka pelaku dapat untuk tidak dijatuhi pidana atau tidak dikenakan tindakan (Lihat Pasal 54 ayat 2 RKUHP).

Terlepas dari seluruh uraian di atas, kekhawatiran berbagai elemen dalam merespon keberadaan delik penghinaan presiden dan wakil presiden tentu merupakan hal yang wajar dan mendasar. Namun penulis berpandangan bahwa, tim perumus RKUHP telah mempertimbangkan berbagai pandangan di atas, hal tersebut nampak jelas dengan model ketentuan yang ada dalam buku kesatu RKUHP dengan disertai penjelasan Pasal mengenai delik a quo yang secara expressive verbis berbunyi bahwa “ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah”.

Terakhir, sebagai ikhtiar bersama dalam merespon polemik delik penghinaan presiden dan wakil presiden pada RKUHP, maka penulis merekomendasikan perlu dibuatnya pedoman pemidanaan perihal penerapan Pasal a quo. Pedoman pemidanaan tersebut harus diberlakukan secara terintegrasi pada setiap tahapan sistem peradilan pidana dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang ada pada buku kesatu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Oleh : Ivan Lippu (Direktur LKBHMI Cabang Yogyakarta)