Hukum Keluarga Islam: Tinjauan terhadap Perbedaan dan Persamaan dengan Hukum Nasional

Pendahuluan

Hukum keluarga Islam merupakan bagian integral dari syariat yang mengatur berbagai aspek kehidupan keluarga, termasuk perkawinan, perceraian, waris, dan pemeliharaan anak. Di Indonesia, hukum keluarga Islam diatur dalam kompilasi hukum Islam dan berlaku bagi umat Islam. Namun, penerapan hukum keluarga Islam di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh hukum nasional yang juga mengatur masalah-masalah keluarga melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan peraturan lainnya yang berlaku secara umum.

Perdebatan antara penerapan hukum keluarga Islam dan hukum nasional kerap muncul dalam konteks perbedaan aturan dan nilai-nilai yang mendasarinya. Meskipun begitu, di sisi lain terdapat pula persamaan antara keduanya, terutama dalam upaya menjaga keseimbangan hak dan kewajiban antara anggota keluarga, serta memberikan perlindungan hukum yang adil dan merata.

Artikel ini akan memberikan tinjauan komprehensif mengenai perbedaan dan persamaan antara hukum keluarga Islam dan hukum nasional di Indonesia. Dengan menelusuri landasan filosofis, yuridis, dan sosial dari kedua sistem hukum ini, kita dapat memahami bagaimana keduanya berinteraksi dan berkontribusi terhadap pembentukan norma hukum keluarga di Indonesia.

Pembahasan

1. Landasan Hukum Keluarga Islam dan Hukum Nasional

Hukum keluarga Islam di Indonesia didasarkan pada ajaran Al-Quran dan Hadis, yang kemudian dikodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI di Indonesia memiliki kekuatan hukum dan menjadi pedoman bagi pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara keluarga bagi umat Islam. Di sisi lain, hukum nasional, terutama yang diatur dalam UU Perkawinan, merupakan hukum yang dibuat oleh negara untuk mengatur seluruh warga negara Indonesia tanpa memandang agama.

Hukum keluarga Islam menekankan pentingnya menjaga keutuhan keluarga, dengan mengedepankan konsep pernikahan sebagai ikatan suci yang harus dijaga. Dalam Islam, perkawinan bukan sekadar kontrak sosial, melainkan juga perjanjian religius yang memiliki implikasi moral dan spiritual. Perceraian dalam hukum Islam diperbolehkan, tetapi dengan syarat-syarat tertentu yang bertujuan untuk memastikan bahwa perceraian merupakan solusi terakhir setelah upaya perdamaian gagal.

Sebaliknya, hukum nasional, melalui UU Perkawinan, mengatur pernikahan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun mengakui perceraian, hukum nasional mensyaratkan adanya alasan-alasan tertentu dan proses hukum yang ketat sebelum perceraian dapat dilaksanakan.

2. Perkawinan dalam Hukum Keluarga Islam dan Hukum Nasional

Salah satu perbedaan utama antara hukum keluarga Islam dan hukum nasional terletak pada konsep dan prosedur perkawinan. Dalam hukum Islam, akad nikah menjadi inti dari pernikahan, di mana wali dari pihak perempuan dan saksi memainkan peran penting. Mahar (mas kawin) juga merupakan syarat sahnya pernikahan dalam Islam. Selain itu, Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu, seperti kemampuan suami untuk berlaku adil kepada semua istrinya.

Sementara itu, hukum nasional mengatur bahwa perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Selain itu, hukum nasional lebih restriktif terhadap poligami, di mana seorang pria hanya diizinkan beristri lebih dari satu jika memenuhi syarat-syarat ketat, seperti adanya persetujuan dari istri pertama dan izin dari pengadilan.

3. Perceraian dalam Hukum Keluarga Islam dan Hukum Nasional

Perceraian merupakan isu sensitif dalam hukum keluarga baik dalam Islam maupun hukum nasional. Dalam hukum Islam, perceraian bisa dilakukan dengan talak yang diucapkan oleh suami, tetapi harus dilakukan di depan pengadilan agama untuk mendapatkan pengesahan. Talak dalam Islam memiliki beberapa tingkatan, dengan talak tiga (talak bain kubra) sebagai yang paling serius karena mengakhiri pernikahan secara permanen kecuali dengan syarat yang sangat ketat.

Di sisi lain, hukum nasional mengatur bahwa perceraian hanya dapat dilakukan setelah melalui proses pengadilan. Pengadilan akan mengupayakan perdamaian terlebih dahulu sebelum mengizinkan perceraian. Hukum nasional lebih menekankan pada alasan perceraian yang logis, seperti perselisihan yang tidak dapat didamaikan atau salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajiban pernikahan.

4. Hak Asuh Anak dan Pembagian Harta Warisan

Hak asuh anak dalam hukum keluarga Islam biasanya diberikan kepada ibu ketika anak masih kecil, terutama jika masih di bawah umur tujuh tahun, sesuai dengan prinsip hadhanah. Namun, jika anak sudah mencapai usia mumayyiz, anak tersebut diberikan kebebasan untuk memilih ingin diasuh oleh ayah atau ibunya. Hukum nasional memiliki pandangan yang mirip, tetapi keputusan mengenai hak asuh anak ditentukan berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak tersebut.

Dalam hal pembagian harta warisan, hukum keluarga Islam memiliki ketentuan yang jelas dalam Al-Quran tentang pembagian warisan, yang sering kali berbeda dengan ketentuan dalam hukum nasional. Hukum Islam menetapkan bagian-bagian tertentu bagi ahli waris, seperti dua pertiga untuk anak laki-laki dibandingkan dengan satu pertiga untuk anak perempuan. Hukum nasional cenderung lebih fleksibel, di mana pembagian warisan bisa dilakukan sesuai kesepakatan keluarga atau berdasarkan ketentuan pengadilan.

Kesimpulan

Hukum keluarga Islam dan hukum nasional di Indonesia memiliki persamaan dalam upaya menjaga stabilitas dan keadilan dalam kehidupan keluarga. Keduanya bertujuan untuk melindungi hak-hak setiap anggota keluarga dan memberikan kejelasan hukum dalam berbagai aspek kehidupan keluarga.

Namun, perbedaan antara keduanya terutama terletak pada landasan filosofis dan prosedural. Hukum keluarga Islam sangat dipengaruhi oleh ajaran agama yang spesifik, sementara hukum nasional lebih berfokus pada kesetaraan hukum dan asas keadilan universal yang dapat diterapkan pada seluruh warga negara tanpa memandang agama.

Meskipun terdapat perbedaan, interaksi antara hukum keluarga Islam dan hukum nasional di Indonesia dapat dianggap sebagai bentuk harmoni hukum yang mencerminkan keberagaman dan pluralitas masyarakat Indonesia. Keselarasan antara kedua sistem hukum ini penting untuk menjaga keharmonisan sosial dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia, terutama dalam konteks kehidupan keluarga.

Di masa depan, tantangan yang muncul terkait dengan harmonisasi antara hukum keluarga Islam dan hukum nasional harus diatasi melalui dialog yang konstruktif dan penerapan hukum yang bijaksana. Dengan demikian, hukum keluarga di Indonesia dapat terus berkembang sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang dinamis, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai yang ada.

Penulis: ririn sri rejeki