Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Pidana

Kapolri Jendral Listyo Sigid Prabowo dalam seratus harinya bekerja sebagai Kapolri telah menyelesaikan 1.864 perkara dengan menggunakan konsep restorative justice (nasional.kompas.com, Juni 2021), namun penulis tidak melihat ada keterangan atau penjelasan tentang pengelompokan dan kategorisasi jenis perkara apa yang diselesaikan dengan keadilan restoratif. Menyambung pernyataan Mahfud MD selaku Menko Polhukam ketika memberikan contoh kasus pemerkosaan, menurutnya tidak harus ditangkap dan dibawa ke ranah pengadilan untuk menjalani proses hukum. Menyambung pernyataan Mahfud MD selaku Menko Polhukam ketika memberikan contoh kasus pemerkosaan, menurutnya tidak harus ditangkap dan dibawa ke ranah pengadilan untuk menjalani proses hukum. Menurutnya, restorative justice membangun harmoni agar antara keluarga korban dan pemerkosa serta masyarakat tidak gaduh. (nasional.kompas.com, Februari 2021)

Pernyataan Menko Polhukam tersebut menuai kritik dari ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) dengan mengatakan Mahfud MD keliru dalam memahami pendekatan restorative justice (RJ) dengan mengambil contoh pemerkosaan. ICJR juga menilai RJ bisa saja diterapkan pada kasus perkosaan. Namun titik sentral yang mesti diperjuangkan adalah mendengarkan dan memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan kerugian, dan membuat pelaku menyadari perbuatannya dan dampaknya. Pernyataan Menko Polhukam yang menilai RJ pada kasus perkosaan tidak untuk menangkap dan mengadili pelaku tidak tepat, meminta pelaku dan korban dinikahkan dengan alasan menjaga harmoni dan nama baik keluarga justru adalah contoh buruk praktik selama ini yang bertentangan dan tidak sejalan dengan nilai dan prinsip restorative justice. Selain itu, ICJR juga menilai pernyataan Mahfud tidak berpihak pada upaya penguatan korban pemerkosaan atau kekerasan seksual. Padahal banyak survei mengungkapkan korban kekerasan seksual tidak berani melaporkan kasusnya karena narasi yang cenderung menyalahkan korban (CNN Indonesia.com, Februari 2021).

Melihat permasalahan di atas menunjukkan masih terjadi perbedaan pandangan dalam menafsirkan apa yang dimaksud dengan restorative justice, sehingga perlu menelaah kembali dari segi teori dan maupun konsep restorative justice yang berkembang di tingkat global dan memahami bagaimana restorative justice bekerja dalam sistem peradilan pidana, sehingga dengan memahami ulang secara teori dan konsep bisa menjadi titik temu dalam menyatukan pemikiran tentang konsep restorative justice.

Sebelum masuk lebih jauh di Indonesia, para penegak hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan dan badan peradilan, memiliki komitmen bersama untuk memecahkan persoalan pidana dengan menggunakan pendekatan restorative justice. Diawali oleh Kepala Reskrim Polri pada tahun 2012, mengeluarkan Surat Telegram Kabareskrim Nomor: STR/583/VIII/2012 tentang Penerapan Restorative Justice, dengan surat telegram tersebut menjadi dasar penyidik Polri dalam menyelesaikan perkara aduan masyarakat dengan pendekatan keadilan restoratif, sehingga pada tahun 2018 Tito Karnavian menandatangani Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana.

Argumentasi atau urgensi yang dibangun oleh pihak kepolisian untuk menerapkan pendekatan keadilan restoratif adalah, pertama, proses penyelidikan dan penyidikan merupakan pintu entry point dalam penegakan hukum pidana melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia, sehingga dapat tidaknya suatu perkara pidana di lanjutkan ke tahap penuntutan dan masuk dalam sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan hukum yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dengan tetap mengedepankan asas peradilan yang sederhana, cepat dan ringan. Kedua, pentingnya penerapan restorative justice yang merefleksikan keadilan sebagai bentuk keseimbangan hidup manusia, sehingga pelaku kejahatan dinilai sebagai perilaku yang menghilangkan keseimbangan di tengah masyarakat, sehingga dalam menyelesaikan perkara tersebut harus dengan mengembalikan keseimbangan yang telah hilang dengan cara membebankan kewajiban kepada pelaku kejahatan dengan kesadarannya meminta maaf kepada korban, mengakui kesalahan, serta mengembalikan kerusakan dan kerugian kepada korban seperti semula atau setidaknya menyerupai seperti semula yang dapat memenuhi rasa keadilan korban. Ketiga, over capacity lembaga pemasyarakatan, tunggakan perkara, jumlah penegak hukum yang tidak seimbang, dan anggaran yang tidak mampu mendukung penanganan perkara. Surat Edaran tersebut juga menegaskan restorative justice tidak dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara damai, tetapi lebih kepada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana, seperti korban, pelaku pidana, masyarakat, dan mediator. Salah satu penyelesaiannya dalam bentuk perjanjian damai dan pencabutan hak menuntut dari korban perlu dimintakan penetapan hakim melalui jaksa penuntut umum untuk menggugurkan kewenangan menuntut dari korban dan penuntut umum.

Pada tanggal 21 Juli 2020 Jaksa Agung Burhanuddin menandatangani Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam Perja tersebut menyebutkan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Selanjutnya, Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Dalam Pedoman tersebut disebutkan keadilan restoratif merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.

Menurut Centre for Justice and Reconciliation at Prison Fellowship International dalam dengan papernya yang berjudul “Restorative Justice Briefing Paper” menyebutkan bahwa “Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the harm caused or revealed by criminal behavior. It is best accomplished through cooperative processes that include all stakeholders”, selanjutnya Paul McCold and Ted Wachtel International Institute for Restorative Practices dalam artikelnya yang berjudul “In Pursuit of Paradigm: A Theory of Restorative Justice” menejelaskan bahwa “Restorative justice is a process involving the primary stakeholders in determining how best to repair the harm done by an offense. The three primary stakeholders in restorative justice are victims, offenders and their communities of care, whose needs are, respectively, getting reparation”, kemudian Center for Innovative Justice menyebutkan dalam website resminya cij.org.au bahwa  “Restorative justice is a theory of justice that focuses on the harm caused by crime and wrongdoing to people, relationships and community, It provides a framework for addressing and preventing harm that moves beyond punishment towards healing. As a practice, restorative justice processes most commonly bring together people affected by harm in a safe, structured and facilitated way, to talk about what happened, how they were impacted and how the harm can be repaired or addressed”.  Mengutip pendapat  Janet Lauritsen dalam artikelnya yang berjudul “Restorative Justice” menyebutkan “Restorative justice practices have long historical roots and are known by a variety of names, including victim-offender mediation, community justice conferences, restorative or sentencing circles, victim-offender reconciliation programs, and reparative justice. In restorative justice practices, victims, offenders, and communities affected by a particular offense meet to find a way to “restore” or make amends for the harm resulting from an offense

Dari penjelasan di atas memberikan pengertian bahwa keadilan restoratif merupakan upaya mengakomodir  pemulihan korban dari akibat kejahatan yang ditimbulkan dengan memberikan hak kepada korban untuk bertemu dan mengungkapkan sikap batin dari kejahatan yang ditimbulkan oleh pelaku, dan meminta restitusi kepada pelaku untuk bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh korban akibat kejahatannya, selain itu, konsep restorative justice juga memberikan ruang rekonsiliasi karena ada guncangan sosial  serta menentukan hukuman yang tepat kepada pelaku dengan menghadirkan komunitas dan aparat penegak hukum ketika melakukan proses restorative justice. Perlu dicermati dalam definisi bahwa restorative justice bukan merupakan upaya menghilangkan hukuman atau kesalahan pidananya namun upaya mencari alternatif yang tepat dalam menyelesaikan perkara pidana secara berimbang yang lebih memihak kepada korban dan korban ikut serta menentukan proses perkaranya, karena dalam proses peradilan pidana korban dengan diwakili oleh jaksa penuntut umum melawan pelaku dan menjatuhi hukuman kepada pelaku semata (retributive), namun tidak memperhatikan dampak besar yang dirasakan korban yang tidak terwakili secara penuh oleh jaksa penuntut umum. Jaksa Penuntut Umum hanya mengacu kepada teks KUHP yang di dalamnya tidak mengakomodir nasib korban akibat kejahatan tindak pidana. Sehingga paradigma restorative justice sebagai langkah untuk mengubah paradigma retributive semata melainkan ditambah menjadi proses rehabilitasi korban, pelaku, dan keadaan sosial.  Hal ini juga sesuai dengan yang ditulis oleh UNODC (United Nation of Drug and Crime) dalam website resminya yang dipublikasikan pada April 2019 dengan artikel yang berjudul “The Criminal Justice System and Legal Justice” yang menyebutkan “restorative justice is an approach to crime that focuses on trying to repair the harm that it has caused by involving those who have been affected. It understands crime not only as a legal infraction that requires public condemnation, but also as an injury to real people and relationships that needs healing. Those caught up in the event are left with a range of physical, emotional, psychological, spiritual and material needs, and these so-called justice needs have to be addressed if they are to feel that justice has been served”.

Kesimpulannya bahwa seluruh peraturan yang menyangkut pendekatan restorative justice harus dijalankan dengan seksama dan cermat serta penafsiran terhadap keadalian restoratif bukan pada proses penghentian perkara dan penghapusan kesalahan atau hukuman pidana, namun pendekatan yang lebih memperhatikan pemulihan korban dan mengikutsertakan korban dalam menentukan proses penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana.

 

Oleh : Itmaamul Wafaa Samudra (Mahasiswa MIH Universtias Gadjah Mada)